Jakarta, mediarakyatdemokrasi.com- Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materi batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
MK menolak syarat usia capres-cawapres diturunkan menjadi 35 tahun.
Gugatan yang ditolak tercatat sebagai perkara nomor 29/PUU-XXI/2023, diajukan oleh sejumlah kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Sidang pembacaan putusan uji materi ini digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (16/10/2023).
"Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan, Senin.
Mahkamah berpendapat, penentuan usia minimal capres-cawapres menjadi ranah pembentuk undang-undang.
"Dalam hal ini, Mahkamah tidak dapat menentukan batas usia minimal bagi calon presiden dan calon wakil presiden karena dimungkinkan adanya dinamika di kemudian hari," ujar hakim Saldi Isra.
Pasal 169 huruf q Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sendiri berbunyi,
“Persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah: berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun”.
Sebagai informasi, uji materi batas usia minimal capres-cawapres diajukan oleh sejumlah pemohon.
Perkara nomor 29/PUU-XXI/2023 diajukan oleh kader PSI Dedek Prayudi pada 16 Maret 2023, yang meminta batas usia minimum capres-cawapres dikembalikan ke 35 tahun.
PSI menganggap, ketentuan saat ini diskriminatif.
Selain PSI, gugatan ini dimohonkan oleh beberapa kader partai berlambang bunga mawar itu, yakni Anthony Winza Probowo (Pemohon II), Danik Eka Rahmaningtyas (Pemohon III), Dedek Prayudi (Pemohon IV), dan Mikhail Gorbachev (Pemohon V).
Mereka menilai, batas usia 40 tahun bertentangan dengan " moralitas dan rasionalitas" karena menimbulkan bibit-bibit diskriminasi sebagaimana termuat dalam Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.
Mereka beranggapan, beleid itu berpotensi merugikan 21,2 juta hak konstitusional anak muda Indonesia usia 35-39 tahun yang dapat dipilih pada Pemilu 2024 nanti.
Aturan soal batas usia capres-cawapres juga digugat oleh Partai Garuda yang tercatat sebagagai perkara nomor 51/PUU-XXI/2023.
Partai Garuda meminta supaya pengalaman sebagai penyelenggara negara menjadi syarat alternatif selain usia minimum 40 tahun.
Sementara itu, pada perkara nomor 55/PUU-XXI/2023 yang dilayangkan pada 17 Mei 2023, Wali Kota Bukittinggi Erman Safar dan Wakil Bupati Lampung Selatan Pandu Kesuma Dewangsa mengajukan petitum yang sama dengan Partai Garuda.
Pembacaan putusan ini dilakukan hanya 4 hari sebelum pendaftaran capres-cawapres dibuka KPU RI pada 19 Oktober 2023 hingga 25 Oktober 2023. Sejauh ini, karena UU Pemilu belum berubah, KPU masih mempedomani ketentuan yang ada di dalam UU Pemilu itu, bahwa batas minimum usia capres-cawapres adalah 40 tahun.
Namun, KPU siap mematuhi apa pun putusan MK sebagai produk hukum yang final dan mengikat. Hakim Anggota MK, Saldi Isra menjelaskan, pihaknya mempertimbangkan batas usia minimal Presiden dan Wakil Presiden.
Bahwa telah disepakati Pasal 169 huruf Q UU 7 tahun 2017 tidak bertentangan dengan UU 1945.
"Mahkamah tidak bisa menentukan batas usia minimal Capres dan Cawapres karena memungkinkan adanya dinamika dikemudian hari," tuturnya, Senin (16/10/2023).
Jika MK menentukan maka flesibelitas menjadi hilang dan dapat memunculkan berbagai permohonan terkait batas minimal usia jabatan publik ke Mahkamah.
Dalam pembacaannya, Saldi mengaku pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dari waktu ke waktu batas usianya berbeda. Pada tahun 2004, 2009 dan 2014 terutama sejak pemilihan langsung oleh rakyat batas usia mininal harus berusia 35 tahun.
Kemudian, pada tahun 2019 lalu terjadi perubahan lagi syarat usia Presiden dan Wakil Presiden minimal 40 tahun.
"Namun demikian, terpelas dari perbedaan batas usia minimal Calon Presiden dan Wakil Presiden pilihan kebijakan lembaga berwenang yang menentukan batas usia tidak pernah menimbulkan problematika lembaga ke Presiden," ungkap.
Artinya, pemilihan umun Capres dan Cawapres tetap dapat dilaksanakan tidak terjadi kebuntuan hukum dan menghambat kinerja lembaga ke presidenan sehingga merugikan konstitusional bagi warga negara.
Ketua MK Anwar Usman membacakan kesimpulan, pertama MK berwenang mengadili A Quo.
Kedua para pemohonan memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan A Quo. Ketiga, pokok permohonan dari pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
"Berdasarkan UU 1945 dan seterus amar putusan mengadili menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ungkapnya. (Ag/m26)