..
Gugatannya Terkait Ketentuan Presidential Threshold Ditolak MK, Begini Reaksi Yusril Ihza Mahendra

Gugatannya Terkait Ketentuan Presidential Threshold Ditolak MK, Begini Reaksi Yusril Ihza Mahendra

Jakarta, mediarakyatdemokrasi.com- Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB), Yusril Ihza Mahendra memberikan respons keras usai uji materi yang diajukan PBB atas ketentuan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden 20 persen kursi di DPR yang tercantum dalam UU Pemilu, ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Menurut Yusril, MK terlalu kaku dan membuat demokrasi di Indonesia tetap terancam oleh oligarki kekuasaan dengan ketentuan presidential threshold 20 persen.

Diketahui, pimpinan DPD dan Yusril mengajukan uji materi atas Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) yang berbunyi pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang penuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR, atau 25 persen suara sah nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.

Uji materi tercatat dengan nomor perkara 52/PUU-XX/2022 di mana pimpinan DPD sebagai pemohon I dan Yusril sebagai pemohon II. Mereka menilai Pasal 222 bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.

Dalam putusannya, MK menyatakan permohonan pimpinan DPD tidak mempunyai legal standing, maka dinyatakan tidak dapat diterima.

Sementara permohonan Yusril atau PBB, kata MK memiliki legal standing tetapi permohonannya tidak beralasan menurut hukum sehingga ditolak seluruhnya.

"Dengan ditolaknya permohonan PBB dan para anggota DPD ini, serta juga permohonan-permohonan yang lain yang akan diajukan, maka demokrasi kita kini semakin terancam dengan munculnya oligarki kekuasaan. Calon presiden dan wakil presiden yang muncul hanya itu-itu saja dari dari kelompok kekuatan politik besar di DPR yang baik sendiri atau secara gabungan mempunyai 20 persen kursi di DPR," ujar Yusril kepada wartawan, Kamis (7/7/2022).

Yusril menilai hal yang paling aneh dalam demokrasi Indonesia akan terjadi. Hal ini karena capres-cawapres yang maju adalah pasangan calon yang didukung oleh parpol berdasarkan treshold hasil pileg lima tahun sebelumnya.

Padahal, kata Yusril, dalam lima tahun itu, para pemilih dalam pemilu sudah berubah, formasi koalisi dan kekuatan politik juga sudah berubah.

"Namun segala keanehan ini tetap ingin dipertahankan MK. MK bukan lagi the guardian of the constitution dan penjaga tegaknya demokrasi, tetapi telah berubah menjadi the guardian of oligarchy. Ini adalah sebuah tragedi dalam sejarah konstitusi dan perjalanan politik bangsa kita," ungkap Yusril.

MK, kata Yusril, tetap kukuh dengan putusan sebelumnya, yang mungkin dianggap sebagai yurisprudensi yang menyatakan bahwa Pasal 222 UU Pemilu adalah konstitusional dan tidak bertentangan dengan UUD 45.

Yusril juga mengaku pernah menggabungkan norma Pasal 1 ayat (2), Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 22E UUD 1945 dengan menggunakan tafsir sistematik untuk menyatakan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945.

"Tetapi MK malah mempreteli ketiga pasal itu satu demi satu untuk mendukung pendapatnya sendiri bahwa Pasal 222 UU Pemilu adalah konstitusional," tegas Yusril.

Selain itu, lanjut Yusril, MK selalu mengemukakan argumen bahwa norma Pasal 222 itu adalah untuk memperkuat sistem presidensial.

Padahal, menurutnya, UUD 1945 pasca-amendemen justru menciptakan check and balances antarlembaga negara dan tidak ada hubungan korelatif antara presidential treshold dengan penguatan sistem presidensial sebagaimana selama ini didalilkan MK.

"Pasal 222 itu adalah open legal policy presiden dan DPR yang tidak dapat dinilai oleh MK. Saya telah membantah seluruh argumentasi hukum MK tersebut, namun sampai saat ini MK tetap kukuh dengan pendiriannya bahwa Pasal 222 UU Pemilu adalah konstitusional," tutur Yusril.

Menurut Yusril, MK tidak seharusnya kukuh dengan pendapatnya semula. Hal ini karena zaman terus berubah dan argumen hukum juga terus berkembang.

Bahkan, kata Yusril, dalam fikih, tokoh sekaliber Imam Syafii (767-820 M) saja bisa mengubah pendapat hukumnya dengan merumuskan qaul jadid atau pendapat baru dan meninggalkan qaul qadim atau pendapat terdahulu karena situasi atau ratio legis yang mendasari lahirnya sebuah norma hukum telah berubah.

"MK tidak seharusnya mempertahankan sikapnya yang kaku dan banyak dikritik para akademisi, sehingga terkesan jumud dengan perubahan hukum yang terjadi begitu cepatnya dalam masyarakat kita," tegas Yusril. (mrd-Sumber:Beritasatu.com)

Sebelumnya Partai Garuda Gugat UU Pemilu Yang Terkait Menteri Mau Nyapres
Selanjutnya Jokowi Tandatangani Keppres, Lili Pintauli Siregar Sah Berhenti Sebagai Pimpinan KPK